Seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler,
aspek-aspek ilmu genetika juga mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Aspek yang dimaksud masuk ke dalam ranah ilmu genetika yaitu classical genetics, molecular genetics dan population genetics. Quantitative genetics yang membahas
secara mendalam berbagai macam sifat kuantitatif seperti tinggi badan,
berat badan, IQ, kepekaan terhadap penyakit, dan sebagainya masuk ke
dalam ilmu population genetics.
Ilmu population genetics pula
yang mendukung teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin 150
tahun lalu. Ilmu ini menggunakan berbagai macam pendekatan statistik
untuk membuktikan, menjelaskan atau mendeteksi adanya perubahan
organisme dalam lingkungan oleh sebab adanya dorongan evolusi (evolutionary force). Dari sinilah
lahir istilah Neo-Darwinism.
Dalam
Neo-Darwinism, evolusi
dideskripsikan sebagai perubahan frekuensi alel yang ada dalam populasi
di tempat dan waktu tertentu oleh sebab adanya evolutionary force. Evolutionary
force yang dimaksud di sini terdiri dari (1) Mutation, sebagai the building block of evolution, ia
cenderung meningkatkan variasi genetis atau frekuensi alel yang menjadi
subyek seleksi alam; (2) Natural
Selection, terdiri dari directional
selection, stabilizing
selection dan disruptive
selection; (3) random genetic
drift, yang cenderung menekan variasi genetis; (4) Non-random mating yang meningkatkan
homozigositas fenotip tanpa mempengaruhi frekuensi alel; (5) migration, yang mendorong kesamaan
frekensi alel antar populasi yang berbeda.
Sebelum melangkah
lebih jauh, alangkah baiknya jika kita mengenal bagaimana cara
menghitung frekuensi alel dalam suatu populasi. Misalkan dalam suatu
populasi, terdapat 2 alel dalam satu lokus, yaitu A1 dan A2,
maka dalam populasi tersebut hanya ada variasi genotip individu sebagai
berikut A1A1, A1A2, dan A2A2.
Jika dalam populasi tersebut diketahui berjumlah 500 orang dan individu
dengan genotip A1A1 = 245, A1A2
= 150 dan A2A2 = 105, maka frekuensi
masing-masing alel dalam gene pool,
yaitu A1 dan A2 bisa dihitung sebagai berikut :
Frekuensi
A1= [(2 x 245) + (1 x 150)] / 1000 = 0,64
Frekuensi A2=
[(2 x 105) + (1 x 150)] / 1000 = 0,36
Di sini 1000 artinya dalam
gene pool yang terdiri dari
500 individu terdapat 1000 alel sebab masing-masing individu memiliki 2
alel atau diploid. Pada individu A1A1 terdapat dua
alel A1, sedangkan dalam individu A1A2
terdapat satu alel A1.
Langkah selanjutnya adalah
mengetahui apakah individu dengn alel tertentu memiliki kemampuan
adaptasi lebih unggul dibandingkan alel lain yang dinyatakan dengan
fitness, kita harus menghitung dulu nilai fecundity dan survival
dari keturunan yang dihasilkan oleh individu dengan genotipe tertentu.
Fecundity adalah kemampuan organisme untuk mengasilkan keturunan atau
dengan kata lain rata-rata keturunan yang dilahirkan oleh organisme
dengan genotpe tertentu dalam populasi bersangkutan. Survival adalah
kemampuan keturunan tersebut untuk tetap hidup sampai masa reproduksi.
Produk antara fecundity dan survival adalah fitness. Kita ambil contoh pada wolf
spider betina yang menghasilkan keturunan seperti pada tabel dibawah
ini.
Genotipe
fecundity Survival fitness relative fitness
A1A1
230 0,0200 4,6 1.00
A1A2
280 0,0150 4,2 0,91
A2A2
190 0,0100 1,9
0,41
Pada tabel di atas tampak bahwa individu
homozygote A1 memiliki fitnes paling besar walaupun
fecundity nya sedikit lebih rendah daripada heterozygote tapi memiliki
survival yang lebih tinggi. Konsep relative
fitness lebih sering dipakai dalam population genetics dibandingkan dengan absolute fitness. Dalam relative fitness, individu dengan
genotipe tertentu yang memiliki fitness tertinggi dianggap memiliki
fitness sebesar 1, sedangkan yang lainnya kurang dari 1 seperti tampak
pada kolom terakhir tabel di atas. Dengan kata lain individu dengan
kemampuan adaptasi paling tinggi memiliki fitness sebesar 1,00.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar