Faktor-faktor yang menentukan cara transport obat lintas membran yaitu :
Sifat fisiko-kimia obat : bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam
air, kelarutan dalam lemak, derajat ionisasi
Bioavailabilitas : adalah ( ketersediaan hayati )
Jumlah obat ( dalam persen terhadap dosis ) yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh / aktif.
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan
dan kecepatan obat diabsorpsi dari bentuk sediaan.
Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada pasien ( secara in vivo
) dengan menentukan kadar obat dalam plasma darah dengan interval
setiap jam sampai diperoleh kadar puncak dan kadar obat minimum yang
masih berefek
Obat yang menghasilkan kadar obat sama antara kadar dalam darah dan
dalam jaringan, disebut mempunyai bioekivalensi . Bila tidak sama,
disebut mempunyai bioinekivalensi. Bila bioinekivalensinya lebih dari 10
% menimbulkan inekivalensi terapi, terutama obat-obat yang indeks
terapinya sempit ( dosis terapi hampir sama dengan dosis toksik )
Tidak semua jumlah obat yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan
mencapai sirkulasi sistemik. Banyak faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas obat, terutama bila diberikan per oral, kemungkinan
obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran
gastrointestinal
CARA PEMBERIAN OBAT
a. Cara pemberian obat per oral :
Cara ini paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Namun untuk
obat yang diberikan melalui oral, ada tiga faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas :
1. Faktor obatnya sendiri (larut dalam lipid, air atau keduanya)
2. Faktor penderita ( keadaan patologik organ-organ pencernaan dan
metabolisme )
3. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna. ( interksi dengan makanan )
( dapat dilihat dalam Tabel 1-1 halaman 4 , Ganiswara S.G . Farmakologi
dan Terapi`)- sebagai tugas mandiri.
b. Cara pemberian obat melalui suntikan :
Keuntungan pemberian obat secara parenteral dibandingkan per oral, yaitu
:
1. Efeknya timbul lebih cepat dan teratur
2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar
atau muntah-muntah
3. Sangat berguna dalam keadaan darurat
Kelemahan cara pemberian obat melalui suntikan :
1. Dibutuhkan cara aseptis
2. Menyebabkan rasa nyeri
3. Kemungkinan terjadi penularan penyakit lewat suntikan
4. Tidak bisa dilakukan sendiri oleh penderita
5. Tidak ekonomis
c. Pemberian Obat Melalui Paru-paru :
Cara ini disebut cara inhalasi, hanya dilakukan untuk obat yang
berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap, misalnya anestetik umum
dan obat dalam bentuk aerosol. Absorpsi melalui epitel paru dan mukosa
saluran napas
Keuntungan :
1. Absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas
2. Terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati
3. Obat dapat diberikan langsung pada bronchus ( untuk asma bronchial )
Kelemahan :
1. Diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit ( obat semprot
untuk asma)
2. Sukar mengukur dosis (karena ukurannya: berapa kali semprotan sekali
pakai)
3. Obatnya sering mengiritasi epitel paru
d. Pemberian Topikal
Pada kulit : Jumlah obat yang diserap tergantung : - (1) pada luas
permukaan kulit yang terpejan; - (2) kelarutan obat dalam lemak; -( 3 )
dapat ditingkatkan absorpsinya dengan membuat suspensi obat dalam
lemak.
DISTRIBUSI
Distribusi obat terjadi melalui dua fase berdasarkan penyebarannya.
Yaitu :
1. Distribusi fase pertama : yaitu ke organ-organ yang perfusinya sangat
baik ( jantung, hati, ginjal dan otak ), terjadi segera setelah
penyerapan, selanjutnya
2. Distribusi fase kedua : yaitu ke organ-organ yang perfusinya tidak
begitu baik ( otot, visera, kulit, dan jaringan lemak ).
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membrane sel dan
terdistribusi ke dalam sel, obat yang tidak larut dalam lemak sulit
menembus membrane sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan
ekstrasel. Distribusi terbatasi oleh ikatan obat pada protein plasma.
dan hanya obat bebas yang dapat berdifusi kedalam sel dan mencapai
keseimbangan;
Obat dapat terakumulasi di dalam sel jaringan karena ditransport secara
aktif atau lebih sering karena berikatan dengan konponen intrasel (
protein, fosfolipid, atau nukleoprotein )
Distribusi obat ke SSP sulit terjadi, karena obat harus menembus sawar
khusus yaitu sawar darah –otak . Endotel kapiler otak tidak mempunyai
ruang antar sel maupun vesikel pinositosik, karena itu kemampuan obat
untuk menembus sawar darah-otak hanya ditentukan oleh dan sebanding
dengan kelarutan bentuk non ion dalam lemak.
Obat yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya
ammonium kuaterner atau penisilin, dalam keadaan normal tidak dapat
masuk ke otak dari darah.
Semua obat yang diterima oleh ibu hamil akan masuk ke sirkulasi janin
melalui sawar uri yang memisahkan darah ibu dan darah janin, yang tidak
berbeda dengan sawar saluran cerna
BIOTRANSFORMASI
Biotransformasi atau metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.
Pada proses biotransformasi :
(1) molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga mudah diekskresi
melalui ginjal
(2) pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga proses biotransformasi
sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat
(3) ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif atau lebih
toksik
(4) ada obat yang merupakan calon obat ( pro drug ) yang baru aktif
setelah mengalami biotransformasi oleh enzim tertentu menjadi metabolt
aktif yang selanjutnya akan mengalami biotransformasi lebih lanjut atau
diekskresi sehingga kerjanya berakhir
Reaksi-reaksi biotransformasi yang terjadi dapat dibedakan atas :
(1) reaksi fase I dan ; (2) reaksi fase II
Reaksi fase I ialah : oksidasi, reduksi dan hidrolisis, yang mengubah
obat menjadi metabolit lebih polar yang bersifat inaktif, kurang atau
lebih aktif dari bentuk aslinya.
Reaksi fase II ( disebut reaksi sintetik ) : merupakan konjugasi obat
atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam
glukuronat, sulfat asetat atau asam amino. Hasil konjugasi ini
bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah
diekskresi.
Kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa macam reaksi sekaligus
atau secara berurutaan menjadi beberapa macam metabolit, tetapi ada obat
yang hanya mengalami reaksi fase I atau Fase II saja.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan
berdasarkan letaknya didalam sel, yaitu : (1) enzim mikrosom ( dalam
reticulum endoplasma ) yang mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronat,
sebagian besar reaksi oksidasi obat, reaksi reduksi dan hidrolisis; (2)
enzim nonmikrosom , yang mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya (
dengan asetat, sulfat, asam fosfat, gugus metal, glutation atau asam
amino ), dan beberapa reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.
Sebagian besar biotransformasi obat, asam-asam lemak, hormon-hormon
steroid dikatalisis oleh enzim mikrosom hati. Untuk itu obat harus
larut dalam lemak agar dapat melintasi membrane sel masuk kedalam
reticulum endoplasma dan berikatan dengan enzim mikrosom hati.
Aktivitas enzim mikrosom maupun nonmikroson ditentukan oleh faktor
genetik, sehingga kecepatan metabolisme obat antar individu bervariasi.
Metabolisme obat di hati terganggu bila terjadi kerusakaan parenkhim
hati misalnya oleh adanya zat hepatotoksik atau sirosis hepatis. Dalam
hal ini, dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme di
hati harus disesuaikan atau dosisnya dikurangi. Misalnya :Gangguan
kardiovaskuler dan latihan fisik berat akan mengurangi metabolisme obat
tertentu di hati.
Pada bayi, terutama bayi prematur, aktivitas enzim metabolismenya (
mikrosom maupun nonmikrosom ) masih rendah, fungsi ekskresi dan sawar
darah-otak masih belum sempurna, maka sangat peka terhadap efek toksik
obat.
EKSKRESI
Obat dkeluarkan dari tubuh melalui barbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya.
Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat dari pada obat larut
lemak, kecuali pada ekskresi lewat paru ( tergantung koefisien partisi
darah / udara , bila koefisien partisinya kecil, lebih cepat diekskresi)
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting , ekskresi di ginjal
merupakan proses filtrasi glomerulus. Glomerulus merupakan jaringan
kapiler yang dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin
melalui celah antarsel endotelnya. Semua obat yang tidak terikat oleh
protein plasma mengalami fitrasi di glomerulus.
. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal,
sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang
Ekskresi melalui empedu : Obat dengan BM lebih kecil dari 150 dan obat
yang telah dimetabolisme menjadi obat yang lebih polar, dapat
diekskresikan dari hati lewat empedu menuju ke usus dengan mekanisme
transport aktif ( dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam
sufat atau glisin ). Di usus, obat bentuk konjugat dapat langsung
diekskresi atau mengalami hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus
menjadi senyawa yang bersifat nopolar sehingga dapat diabsorpsi kembali
ke plasma darah, kembali ke hati , dimetabolisisr, dikeluarkan kembali
melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga merupakan
siklus yang disebut siklus enterohepatik. Siklus enterohepatik
menyebabkan kerja obat menjadi lebih panjang.
Ekskresi obat juga bisa melalui keringat, air liur, air mata, air susu,
dan rambut tetapi dalam jumlah relatif kecil sekali sehingga tidak
berarti dalam pengakhiran efek obat. Maka dari itu, air liur digunakan
sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu; rambut
juga dapat digunakan untuk menentukan logam toksik, atau arsen
FARMAKODINAMIK
Cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta
mekanisme kerjanya disebut farmakodinamik. ( pengaruh obat terhadap
organ-organ tubuh )
Mekanisme kerja obat yaitu :
(1) Obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal ( fisiologi ) tubuh
(2) Obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi
fungsi yang sudah ada ( ini tidak berlaku bagi terapi gen )
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk :
1. meneliti efek utama obat
2. mengetahui interaksi obat dengan sel
3. mengetahui respon khas yang terjadi
Interaksi Obat Dengan Biopolimer
Semua molekul obat yang masuk dalam tubuh, kemungkinan besar berikatan
dengan konstituen jaringan atau biopolimer seperti protein, lemak, asan
nukleat, mukopolisakari -da, enzim biotransformasi dan reseptor.
Pengikatan obat oleh biopolimer dipengaruhi oleh bentuk konformasi
molekul obat dan pengaturan ruang dari gugus-gugus fungsional senyawa
obat. Interaksi obat dapat berupa:(1) Interaksi tidak khas dan ;(2)
Interaksi khas.
1. Interaksi tidak khas adalah interaksi yang hasilnya tidak
menghasilkan efek yang berlangsung lama dan tidak menyebabkan perubahan
struktur molekul obat maupun biopolimer. Interaksi ini bersifat
reversibel ( terpulihkan ) dan tidak menghasilkan respons biologis.
Contohnya : Interaksi obat yang hanya merubah lingkungan fisika-kimia
dari struktur badan ( protein jaringan, asam nukleat, mukopolisakarida,
air dan lemak ), misalnya : anestetik umum merubah struktur air
didalam otak; diuretik osmotik merubah tekanan osmotik dalam ginjal.
2. Interaksi khas :adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur
makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi
fisiologis normal yang dapat diamati sebagai respons biologis. Interaksi
dengan reseptor dan interaksi dengan enzim biotransformasi, merupakan
interaksi khas.
KERJA OBAT
Kerja obat dapat digolongkan menjadi dua yaitu : (A) Kerja obat yang
diperantarai reseptor dan : (B) Kerja obat yang tidak diperantarai
reseptor.
A. KERJA OBAT YANG DIPERANTARAI OLEH RESEPTOR
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel
suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya, mencetuskan
perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons biologis yang
khas untuk obat tersebut. Interaksi antara obat dengan enzim
biotransformasi juga merupakan interaksi yang khas karena mengakibatkan
perubahan struktur makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan
perubahan fungsi fisiologis yang dapat diamati sebagai respons biologis
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional, yaitu tempat
terikatnya obat untuk menimbulkan respons. Sekelompok reseptor obat
tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen ( hormon
dan neurotransmitor. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat
adalah protein ( misalnya : asetilkolinesterase, Na+ -, K+ -ATP ase dsb
). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat , contohnya untuk
obat sitostatika ( pembunuh sel kanker ).
Ikatan antara obat dengan reseptor, berupa ikatan ion, ikatan hidrogen,
ikatan hidrofobik, ikatan van der Walls atau ikatan kovalen ( jarang ).
Umumnya merupakan campuran berbagai ikatan tersebut diatas. Ikatan
antara obat daengan reseptor, misalnya ikatan antara substrat dengan
enzim, biasanya merupakan ikatan lemah ( ikatan ion, ikatan hidrogen,
ikatan hidrofobik, ikatan van der Walls ) dan jarang berupa ikatan
kovalen. Hubungannya dengan efek obat dapat digambarkan sebagai berikut :
Hubungan Struktur dan Aktifitas Biologik :
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan aktifitasnya terhadap
reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam
molekul obat (misal : perubahan stereoisomer ) dapat menimbulkan
perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai
hubungan struktur dan aktifitas bermanfaat dalam strategi pengembangan
obat baru.
B. KERJA OBAT YANG TIDAK DIPERANTARAI RESEPTOR
Beberapa obat tertentu dapat menimbulkan efek tanpa berikatan dengan
reseptor. Mekanismenya ada berbagai cara yaitu :
1. Mengubah atau mempengaruhi sifat cairan tubuh
2. Berinteraksi dengan ion atau molekul kecil
3. Masuk kedalam komponen sel
1. Mekanisme Kerja Obat : Mengubah atau mempengaruhi sifat cairan
tubuh :
a. Pengubahan sifat osmotik, contoh : (1) obat-obat diuretik osmotik (
manitol ) yang meningkatkan osmolaritas filtrat glomerulus sehingga
terjadi efek diuretk; (2) obat-obat katartik osmotik atau pencahar ( Mg
SO4 ); (3) gliserol untuk mengurangi udema serebral
b. Pengubahan sifat asam-basa , contoh (1) obat-obat antasida untuk
menetralkan asam lambung; (2) NH4CL untuk mengasamkan urin; (3) Natrium
bikarbonat untuk membasakan urin; Asam-asam organik sebagai antiseptik
saluran kemih atau sebagai spermisida topical dalam saluran vagina.
c. Perusakan nonspesifik membran sel ( sebagai antiseptik dan
desinfektan ), contoh : (1) detergen, merusak integritas membran
lipoprotein; (2) halogen, peroksida dan oksidator lain ( merusak zat
organik ); (3) denaturan, merusak integritas dan kapasitas fungsional
membran sel, partikel subseluler dan protein.
d. Gangguan fungsi membran, contoh : anestesi umum dengan eter, halotan
atau metoksifluran, bekerja dengan melarut dalam lemak membran sel di
SSP sehingga eksitabilitas menurun
2. Mekanisme Kerja : Interaksi dengan molekul kecil atau ion
Dengan Molekul pengkhelat ( chelating agent ), contoh : (1) CaNa2 EDTA.
yang mengikat logam Pb menjadi khelat yang inaktif, misal pemberian
larutan CaNa2 -EDTA pada keracunan Pb; (2) Penisilamin, mengikat Cu 2+
bebas ; (3) Dimerkasol untuk keracunan logam-logam berat. Khelat yang
terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan lewat ginjal .
3. Mekanisme Kerja : Masuk ke dalam komponen sel
Obat-obat analog purin atau pirimidin, dapat bergabung dengan asam
nukleat, sehingga mengganggu fungsinya ( obat-obat antimetabolit ),
cotohnya : 6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, flusitosin
yang merupakan obat-obat anti kanker.
TERMINOLOGI MENGENAI EFEK OBAT
* Spesifisitas dan Selektifitas :
Obat yang ideal adalah yang bersifat spesifik dan selektif.
Obat yang spesifik . bila bekerjanya hanya pada satu jenis reseptor
Obat yang selektif , bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan
pada dosis lebih tinggi baru timbul efek yang lain.
Contoh : Klorpromasin, bukan obat yang spesifik karena bekerja pada
berbagai jebis reseptor.
Atropin adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak
selektif karena reseptor muskarinik terdapat di berbagai organ
Salbutamol adalah agonis ß-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif
karena memblok reseptor ß2 dan pada dosis terai hanya berefek
dibronkhus.
Selain tergantung pada dosis, selektifitas juga tergantung cara
pemberian obat, contoh: Salbutamol ( pada dosis terapi hanya berefek di
bronkhus, memblok reseptor ß-2 ), bila diberikan sebagai obat semprot
langsung ke saluran napas, maka selektifitasnya akan meningkat.
Sesungguhnya tidak ada obat yang menghasilkan satu efek saja, dan makin
banyak efek obat, makin banyak efek sampingnya. Dengan demikian,
selektifitas merupakan sifat obat yang penting dalam terapi.
Selektifitas dapat dinyatakan sebagai hubungan antara dosis terapi ( ED )
dengan dosis obat yang menimbulkan efek toksik ( TD ).Hubungan ini
disebut juga indeks terapi atau batas keamanan obat ( margin of safety
).
Obat yang ideal, menimbulkan efek terapi pada semua penderita, tanpa
menimbulkan efek toksik pada satu orang penderita pun. Oleh karena itu
indeks terapinya dinyatakan sebagai berikut :
TD 1
Indeks terapi = ______ = ≥ 1
ED 99
Dapat dinyatakan bahwa untuk obat yang ideal, dosis toksiknya harus
lebih besar dari dosis terapinya dan dosis toksisnya paling banyak hanya
boleh menimbulkan kematian 1 % dari responden.
Pada umumnya, indeks terapi obat dinyatakan dalam rasio berikut:
TD 50 LD 50
Indeks Terapi = -------- = ---------
ED 50 ED 50
Indeks terapi hanya berlaku untuk satu efek, maka obat yang mempunyai
beberapa efek terapi juga mempunyai beberapa indeks terapi. Contoh :
Aspirin mempunyai efek analgetik dan antirheumatik. Indeks terapi atau
batas keamanan obat aspirin sebagai analgetik lebih besar dibandingkan
dengan indeks terapi sebagai antireumatik karena dosis terapi
antireumatik lebih besar dari dosis analgetik.
Meskipun perbandingan dosis terapi dan dosis toksik sangat bermanfaat
untuk suatu obat, namun data demikian sulit diperoleh dari penelitian
klinik.( sulit mendapatkan responden yang bersedia untuk uji klinik ).
Maka dari itu selektifitas obat dinyatakan secara tidak langsung yaitu
diperhitungkan dari data : (1) pola dan insiden efek samping yang
ditimbulkan obat dalam dosis terapi, dan (2) persentase penderita yang
menghentikan obat atau menurunkan dosis obat akibat efek samping.
Harus diingat bahwa gambaran atau pernyataan bahwa obat cukup aman untuk
kebanyakan penderita, tetapi tidak menjamin keamanan untuk setiap
penderita karena selalu ada kemungkinan timbul respons yang menyimpang.
Contohnya : penisilin dapat dinyatakan aman untuk sebagian besar
penderita tetapi dapat menyebabkan kematian untuk penderita yang alergi
terhadap obat tersebut.
-
Respons individu terhadap obat sangat bervariasi, yaitu dapat berupa :
(1) Hiperaktif ( dosis rendah sekali sudah dapat memberikan efek ); (2)
Hiporeaktif ( untuk mendapatkan efek, memerlukan dosis yang tinggi
sekali ); (3) Hipersensitif ( orang alergi terhadap obat tertentu ); (4)
Toleransi ( untuk mendapatkan efek obat yang pernah di konsumsi
sebelumnya, memerlukan dosis yang lebih tinggi ); (5) Resistensi ( efek
obat berkurang karena pembentukan genetik ); (6) Idiosikrasi ( efek
obat yang aneh , yang merupaka reaksi alergi obat atau akibat perbedaan
genetik )
Aksi Obat Dapat Melalui Beberapa Cara :
1. Mengadakan stimulasi atau depresi fungsi spesifik dari sel
2. Mengadakan campur tangan aktifitas seluler dari sel asing terhadap
sel tuan rumah, misalnya pemberian antibiotik untuk membunuh sel
bakteri; pemberian obat untuk membunuh sel kanker.( obat-obat kemoterapi
)
3. Merupakan terapi pengganti, misalnya pemberian suplemen Kalium,
pemberian hormon atau vitamin untuk mencapai dosis fisiologis sehingga
diperoleh aksi.
Penggunaan Obat dapat menghasilkan lebih dari satu efek, yaitu :
1. Efek terapi ( utama ).
Terapi obat dapat bertujuan untuk : (a) terapi kausal ; (2) terapi
simtomatik dan (3) terapi substitusi
2. Efek samping : adalah efek yang tidak diinginkan, atau efek obat
yang tidak termasuk kegunaan terapi, misalnya : Efek terapi pemberian
morfin adalah sebagai analgesik, tapi mempunyai efek samping depresi
pernapasan dan konstipasi..
3. Efek teratogen :
Adalah efek obat yang pada dosis terapetik untuk ibu hamil,
mengakibatkan cacat pada janin, misalnya : tangan dan kaki seperti
kepunyaan anjing laut atau bentuk-bentuk lain yang tidak normal.
4. Efek toksik :
Adalah aksi tambahan dari obat yang lebih berat dari efek samping dan
merupakan efek yang tidak diinginkan. Efek ini disebabkan oleh dosis
yang berlebih
5. Idiosinkrasi :
Efek obat yang secara kualitatif berlainan sekali dengan efek terapi
normalnya.
6. Fotosensitisasi :
Adalah efek kepekaan yang berlebihan terhadap cahaya yang timbul akibat
penggunaan obat, misalnya penggunaan obat Bithionol sebagai antiseptika
lokal.
EFEK OBAT PENGULANGAN ATAU PENGGUNAAN OBAT YANG LAMA
1. Hipersensitif :
Adalah suatu reaksi alergik yang merupakan respons abnormal terhadap
obat dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat tersebut hingga
berkembang timbul antibodi.
2. Kumulasi :
Suatu fenomena pengumpulan obat dalam badan akibat pengulangan
penggunaan obat, dimana obat diekskresi lebih lambat dibanding kecepatan
absorpsinya.
3. Toleransi :
Suatu fenomena berkurangnya respon terhadap dosis obat yang sama,
sehingga untuk memperoleh respon yang sama , dosis harus diperbesar
4. Takhifilaksis :
Adalah fenomena berkurangnya kecepatan respons terhadap aksi obat pada
pengulangan penggunaan dosis yang sama (kurang sensitif). Respon semula
tidak terulang meskipun dengan dosis yang lebih besar.
5. Habituasi :
Suatu gejala ketergantungan psikhologik terhadap suatu obat. Kriterianya
: (a) selalu ingin menggunakan obat; (b) tanpa atau hanya sedikit
kecenderungan untuk menaikkan dosis; (c). memberikan efek yang merugikan
pada suatu individu.
5. Adiksi :
Adalah suatu gejala ketergantungan psikhologik dan fisik terhadap obat.
Kriteria : (a) ada dorongan untuk selalu menggunakan obat; (b). ada
kecenderungan untuk menaikkan dosis; (c). timbul ketergantungan psikhik
dan biasanya diikuti ketergantungan fisik.; (d) merugikan terhadap
individu maupun masyarakat.
6. Resistensi terhadap bakteri :
Pada penggunaan antibiotik untuk infeksi oleh bakteri, dapat terjadi
obat tidak mampu bekerja lagi untuk membunuh atau menghambat
perkembangan bakteri tertentu.
EFEK PENGGUNAAN OBAT CAMPURAN
Penggunaan obat campuran dapat nenyebabkan efek : (1) Adisi; (2)
Sinergis; (3) Potensiasi; (4) Antagonis dan (5) Interaksi.
1. Adisi :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama memberikan efek yang merupakan
penjumlahan dari efek masing-masing obat bila diberikan secara
terpisah
2. Sinergis :
Beberapa obat mempunyai aksi yang hampir sama, bila diberikan
bersama-sama ,memberikan efek yang lebih besar dari efek masing-masing
obat yang diberikan secara terpisah
3. Potensiasi :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi-aksi yang tidak
sama, memberikan efek yang lebih besar pada pasien, dari pada efek
masing-masing secara terpisah.
4. Antagonis :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama, salah satu obat mengurangi
efek dari obat yang lain
5. Interaksi obat :
Interaksi obat berlangsung dengan beberapa cara, yaitu : (a) Interaksi
kimia ; (b) Kompetisi untuk mengikat protein ( mendesak obat
lain pada protein ); (c) Induksi enzim ( menstimulasi
pembentukan enzim di hati sehingga obat cepat dibiotransformasi dan
dieliminasi ); (d) Inhibisi enzim ( mengganggu fungsi hepar dan
enzim-enzimnya, sehingga memperkuat kerja obat lain ).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSI OBAT : yaitu
1. Berat badan
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Kondisi patologik pasien
5. Genetik ( Idiosinkrasi )
6. Cara pemberian obat :
(a) yang memberikan efek sistemik : - oral; sublingual;
bukal;-parenteral;- implantasi subkutan; rektal;
(b) yang memberikan efek lokal :- inhalasi; -topikal ( pada kulit ) :
salep, krim , lotion ; - obat-obat pada mukosa : tetes mata, tetes
telinga,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar